Sabtu, 15 November 2014

dari Pemkot, oleh Pemkot, untuk BPK, demi WTP

       Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat, pemerintah daerah (pemda) harus melaporkan penggunaan dana APBD dalam bentuk laporan keuangan  yang kemudian akan diperiksa/diaudit  oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan diberikan opini. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga tinggi yang memiliki wewenang dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.  Opini BPK  adalah pernyataan profesional pemeriksa (auditor) mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada empat kriteria, yakni kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Opini yang paling baik dari hasil audit BPK adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), yang artinya  auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan, perusahaan/pemerintah dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik. Setiap daerah tentu ingin laporan keuangannya mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), sebagai cerminan bahwa pengelolaan keuangan yang dilakukan pemda sudah baik. Sayangnya, untuk mendapat opini tersebut, ada beberapa oknum dari pemda melakukan cara yang kurang terpuji, salah satunya dengan melakukan suap kepada auditor BPK seperti yang terjadi pada oknum pemkot Bekasi pada 2010 lalu.
            Kasus suap yang terjadi empat tahun lalu tersebut melibatkan TUE (Sekda kota Bekasi), HS (Kepala Bidang Aset Pemkot Bekasi), dan HL (Kepala Inspektorat Kota Bekasi), sedangkan pihak penerima suap adalah S (Kepala Sub Auditor BPK Jawa Barat III) dan EH (Kepala Seksi Wilayah BPK Jawa Barat III). Kronologi peyuapan bermula ketika pada Desember 2009 TUE mengikuti forum rapat rutin di ruang rapat yang dipimpin oleh Walikota Bekasi. Ketika itu, Walikota Bekasi mengatakan jika laporan keuangan dinyatakan Wajar Dengan Pengecualian, maka insentif yang diperoleh Pemkot Bekasi sebesar Rp 18 miliar. Namun, jika laporan keuangan dinyatakan Wajar Tanpa Pengecualian, maka Pemkot Bekasi akan memperoleh insentif lebih besar, yakni Rp 40 miliar. TUE bersama-sama HL dan HS selama rentang waktu tanggal 10 Januari sampai 10 Juni 2010 telah melakukan suap kepada S dan EH, agar laporan keuangan Pemkot Bekasi mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian. Total uang suap  senilai Rp 400 juta diberikan dalam dua tahap, masing-masing Rp 200 juta. Pertama, sebesar Rp 200 juta di lapangan parkir sebuah rumah makan di Bandung yang dilakukan HS kepada S. Dari jumlah tersebut S mendapat Rp150 juta, sedangkan EH mendapat jatah Rp50 juta. Tahap kedua, diberikan oleh HL dan HS di rumah dinas S sebesar Rp200 juta. Dua Auditor BPK Jabar yang terbukti menerima suap tersebut akhirnya di vonis empat tahun penjara oleh hakim pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Sedangkan KPK menjerat HS dan HL dengan pasal 5 ayat (1)a atau pasal 13 Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, TUE dijatuhi hukuman penjara tiga tahun karena dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            Dalam auditing, menurut lingkungan pekerjaannya dikenal tiga tipe auditor, yaitu auditor independen, auditor pemerintah, dan auditor intern. Kedua auditor BPK Jabar yang terlibat kasus suap (S dan EH) termasuk dalam kategori auditor pemerintah. Berbeda dengan auditor independen yang menjual jasanya untuk masyarakat umum, atau auditor intern yang bekerja dalam lingkungan intern suatu perusahaan, auditor pemerintah bekerja di instansi pemerintah dan tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Dalam menjalankan tugasnya, auditor memiliki aturan/etika yang wajib untuk dipatuhi. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya.
            Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terdiri dari tiga bagian: (1) Prinsip Etika, (2) Aturan Etika, dan (3) Interpretasi Aturan Etika. Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip etika profesi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), diantaranya :


1.  Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai profesional, seorang akuntan harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Dari kasus suap yang melibatkan auditor BPK Jabar, S dan EH tidak mematuhi prinsip tanggung jawab profesi. Sebagai seorang auditor pemerintah, S dan EH mengabaikan pertimbangan moral dengan menerima uang suap dari Pemkot Bekasi untuk memberi opini WTP dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Bekasi tahun 2009. Hal ini mengindikasikan bahwa keduanya tidak melakukan tugasnya secara profesional dan bertanggungjawab sebagaimana prinsip etika profesi akuntansi yang semestinya.

2.      Kepentingan Publik
Anggota IAI berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. Dengan menerima suap dari oknum pemkot Bekasi untuk memberi opini WTP, auditor BPK Jabar (S dan EH) sudah melanggar prinsip kepentingan publik. Apabila opini Wajar Tanpa Pengecualian yang diberikan pada LKPD Bekasi tahun 2009 tidak sesuai dengan yang hasil audit yang sebenarnya, maka hal itu merupakan tindak penipuan kepada publik (masyarakat) atau dengan kata lain keduanya menyalahgunakan kepercayaan publik yang telah diberikan. Sejatinya, semua anggota IAI mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.

3.      Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. Tindakan menerima suap merupakan salah satu indikasi bahwa S dan EH sebagai auditor pemerintah tidak bisa menjaga integritasnya.  S dan EH cenderung mementingkan keuntungan pribadi dibandingkan profesionalitasnya sebagai auditor. Padahal, Integritas mengharuskan seorang anggota IAI untuk bersikap jujur dan berterus terang sehingga pelayanan dan kepercayaan publik tidak dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas juga mengharuskan anggota IAI untuk mengikuti prinsip objektivitas dan kehati-hatian profesional.

4.      Objektivitas
Setiap anggota IAI harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Pemberian uang suap oleh pemkot Bekasi kepada auditor BPK Jabar mengindikasikan bahwa mereka memiliki kepentingan lain, yaitu agar LKPD Bekasi tahun 2009 diberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian sehingga insentif yang diterima pemkot Bekasi kala itu menjadi lebih besar. Sebagai Auditor BPK Jabar, semestinya S dan EH bisa bersikap lebih objektif dan tidak tergiur dengan imbalan yang diberikan karena prinsip objektivitas mengharuskan anggota IAI bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.  Anggota IAI tidak boleh menerima hadiah atau entertainment yang dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka.

5.      Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota IAI harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Artinya, anggota IAI mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik. Contohnya, Auditor tidak bisa sembarangan memberikan opini terhadap laporan keuangan yang diauditnya, mereka harus terlebih dahulu melakukan audit dengan teliti dan penuh kehati-hatian untuk memberi opini sesuai hasil audit yang diperoleh. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota IAI untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung jawabnya.

6.      Kerahasiaan
Setiap anggota IAI harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Kerahasiaan bukan semata-mata masalah pengungkapan informasi. Seorang Auditor harus bisa menjaga kerahasiaan informasi yang diperolehnya selama menjalankan tugas dan tidak boleh menggunakan informasi tersebut atau menyalahgunakannya demi keuntungan pribadi atau pihak ketiga yang memiliki kepentingan tertentu. Dalam kasus suap yang berhubungan dengan LKPD Bekasi tahun 2009, apabila pengungkapan informasi diharuskan oleh hukum sebagai bukti adanya pelanggaran, maka hal tersebut diperbolehkan.

7.      Perilaku Profesional
Setiap anggota IAI harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Tindakan menerima suap seperti yang dilakukan S dan EH sebagai seorang auditor BPK Jabar adalah salah satu contoh perilaku yang dapat merusak reputasi auditor BPK lainnya secara umum. S dan EH dinilai melanggar prinsip perilaku profesional akuntan atas tindakan yang telah dilakukannya, karena salah satu kewajiban anggota IAI adalah menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi sebagai perwujudan tanggung-jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

8.      Standar Teknis
Setiap anggota IAI harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota IAI mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas. S dan EH semestinya dapat melakukan tugasnya sebagai auditor sesuai dengan standar teknis yang telah ditetapkan dan tidak terpengaruh dengan iming-iming suap atau imbalan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati adalah standar yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.

Referensi:
infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=7817&l=kasus-suap-auditor-bpk-jabar-terancam-hukuman-2-pns-bekasi-seret-atasan
politik.news.viva.co.id/news/read/161408-kpk-tetapkan-lagi-auditor-bpk-jadi-tersangka
www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cd784ca11ac3/dua-auditor-bpk-jabar-divonis-empat-tahun-penjara
www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cbc311205bf6/dua-auditor-bpk-jabar-dituntut-lima-tahun-penjara
www.republika.co.id/berita/breaking-news/hukum/10/11/16/146780-suap-bpk-jabar-sekda-bekasi-divonis-3-tahun-penjara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar