Jumat, 31 Oktober 2014

Hutan : Demi Uang Ku Kau Tebang

          Sebagai warga Negara Indonesia, kita pantas berbangga hati dan bersyukur karena kita tinggal di Negara yang  subur dan memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah. Namun sangat disayangkan, Indonesia belum mampu mengelola dan merawat  sumber daya alam tersebut secara efektif. Hal itu tercermin dari masih banyaknya kasus pembalakan liar (illegal logging) yang terjadi dari waktu ke waktu. Pembalakan liar atau yang lebih kita kenal dengan illegal logging merupakan kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak mendapatkan izin dari otoritas setempat. Selain merugikan Negara secara ekonomi, illegal logging  juga merugikan secara ekologis.  Bisnis penjualan kayu yang  menjajikan serta permintaan pasar yang cukup tinggi menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengusaha dibidang tersebut. Sayangnya, di lain sisi kesempatan ini justru dimanfaatkan beberapa pihak yang kurang bertanggung jawab untuk menghalalkan berbagai cara demi meraup keuntungan lebih.
            Kasus illegal logging yang  baru-baru ini terungkap  adalah kasus yang melibatkan RH, ketua DPRD Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Penangkapan RH bermula ketika Polres Dharmasraya sedang melakukan patroli wilayah. Saat itu, petugas mencurigai truk Hino menggunakan plat nomor polisi palsu BA 1174 VA dengan nomor asli B 9855 BYF, melintas membawa muatan melebihi kapasitas. Truk itu diiringi mobil Fortuner BA 1022 BS yang dikendarai oleh RH yang tak lain kader salah satu partai dan dua orang rekannya. Merasa curiga petugas menghentikan truk tersebut ternyata isinya muatan kayu sebanyak 20 meter kubik. Saat ditanya mengenai surat-surat, supir truk  berinisial A tersebut tidak memiliki dokumen yang sah. Saat penggeledahan, supir truk mengaku bahwa mobil Toyota fortuner yang mengawal truk adalah milik RH, ketua DPRD Kabupaten Dharmasaya. A mengaku, kayu yang dibawanya  berasal dari daerah Tanjung Simalidu Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Rencananya, kayu-kayu tersebut akan dibawa ke sawmill milik RH di Dharmasraya. Setelah melakukan penyelidikan, diketahui bahwa kayu tersebut adalah milik RH. Terkait kasus illegal logging itu, Unit Reskrim Polres Dharmasraya saat ini telah menetapkan RH dan tiga orang lainnya jadi tersangka pada 1 Mei 2014. Para tersangka dikenakan Pasal 12 huruf e jo pasal 83 huruf B UU No 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan, jo pasal 55, 56 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
         Apa yang dilakukan RH ini merupakan salah satu contoh sifat hedonisme yang tertanam dalam diri individu. Hedonisme merupakan salah satu doktrin etika yang mengajarkan bahwa hal terbaik bagi manusia adalah mengusahakan kesenangan.  RH merupakan salah satu contoh “pencari” kesenangan dengan jalan yang kurang baik. Iming-iming keuntungan berlimpah dari hasil penjualan kayu, membuatnya melakukan tindak illegal logging tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya.
          Penjualan kayu hasil illegal logging yang dilakukan RH juga merupakan pelanggaran moral dalam bisnis. Dalam berbisnis, bukan hanya skill dan pengalaman saja yang diperlukan tetapi juga terdapat moral sebagai rambu-rambu yang mengatur. Moral sejatinya berkaitan dengan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, termasuk dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam berbisnis. Hendaknya dalam berbisnis bukan hanya memikirkan keuntungan materi semata, tetapi juga dilakukan dengan cara yang halal. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an Surah Al - Jumuah ayat 10 dan dalam Surah Thaha ayat 132 :

“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari rezeki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Terjemah QS. Al-Jumu’ah: 10)

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepada kalian. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”(Terjemah QS. Thaha : 132)

Ayat-ayat tersebut bermakna bahwa hendaknya kita mencari rezeki yang halal dengan jalan yang baik, dan senantiasa mengingat Allah dalam melakukan setiap pekerjaan.
         Dalam bisnis, selain moral ada juga etika yang harus senantiasa dipatuhi. Agar etika tersebut dapat senatiasa terjaga, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya;

  1. Pengendalian diri
Terkait dengan tindak illegal logging yang melibatkan RH, sebagai seorang pebisnis RH semestinya mampu mengendalikan diri, dalam artian tidak mencari keuntungan dengan jalan yang ”curang” dan merugikan pihak-pihak lain. Pebisnis yang memiliki kemampuan pengendalian diri yang baik tentunya tidak akan hanya berorientasi pada keuntungan bagi dirinya sendiri, tapi juga bagaimana memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

  1. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Bisnis penjualan kayu adalah salah satu bisnis yang cukup sensitif, karena sumber daya yang diperdagangkan berasal dari alam yang memiliki dampak bagi masyarakat luas. Disini, pelaku bisnis dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat sekitar. Penebangan hutan secara liar yang tidak diimbangi dengan penanaman kembali akan merusak lingkungan yang berujung pada bencana yang akhirnya merugikan banyak pihak. Oleh karena itu dibutuhkan rasa tanggung jawab sosial yang tinggi agar para pebisnis di bidang ini bisa mencari solusi untuk meminimalisir risiko yang ditimbulkan.

  1. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Ditengah perkembangan teknologi yang semakin pesat dari waktu ke waktu hendaknya pebisnis tetap dapat mempertahankan jati diri dan memegang teguh budaya. Sehingga teknologi tersebut justru dapat dimanfaatkan untuk memberi manfaat bagi masyarakat luas.

  1. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis yang tidak sehat akan memengaruhi pelaku bisnis untuk menghalalkan segala cara demi mengembangkan bisnisnya seperti apa yang dilakukan RH. Oleh karena itu perlu adanya persaingan yang sehat antarpelaku bisnis, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya.

  1. Menerapkan konsep ”pembangunan berkelanjutan”
Poin ini berhubungan erat dengan tindakan yang dilakukan RH, pembalakan hutan secara liar jelas termasuk contoh eksploitasi alam yang tidak bertanggung jawab. Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana keadaan dimasa mendatang. Pelaku bisnis dituntut untuk tidak mengekspoitasi lingkungan tanpa mempertimbangkan keadaan dimasa mendatang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

  1. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Sebagai seorang ketua DPRD, bukan tidak mungkin RH memanfaatkan jabatannya untuk melancarkan bisnis penjualan kayu illegal dengan melibatkan pihak-pihak lain yang berwenang. Sifat kongkalikong dan segala bentuk kecurangan dalam dunia bisnis sebaiknya dihindari agar tidak terjadi korupsi, manipulasi dan berbagai kasus yang pada akhirnya mencemarkan nama baik bangsa dan negara.

  1. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Poin ini berhubungan erat dengan poin sebelumnya, bahwa hendaknya para pelaku bisnis bertindak jujur, dan menjauhi segala perilaku yang terkait dengan tindakan korupsi dan kecurangan dalam menjalankan bisnisnya.

  1.  Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang kondusif, diperukan adanya rasa saling percaya antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan.

  1. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang disepakati bersama
Agar konsep etika dalam bisnis dapat terlaksana, perlu adanya keterlibatan setiap pelaku bisnis untuk tetap konsekuen dan konsisten mematuhi etika tersebut. Karena apabila ada salah satu oknum yang melakukan kecurangan, maka konsep etika  tersebut akan gugur satu persatu.

  1. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Apabila etika dalam bisnis ditaati oleh semua pihak didalamnya, niscaya akan tercipta suasana yang kondusif dalam berbisnis.

  1. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut. Kebutuhan akan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika sekarang ini sangat diharapkan oleh semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan  bsinis di era globalisasi.


Referensi :
Al-Quran (Terjemah Indonesia) : QS Al-Jumuah:10
Al-Quran (Terjemah Indonesia) : QS Thaha : 132
www.merdeka.com/peristiwa/kawal-truk-illegal-ketua-dprd-di-sumbar-diciduk-polisi.html
id.berita.yahoo.com/ketua-dprd-di-sumbar-tersangka-illegal-logging-233209341.html
news.okezone.com/read/2014/05/02/340/979308/ketua-dprd-dharmasraya-jadi-tersangka-illegal-logging




Rabu, 15 Oktober 2014

Sang Mantan Dirjen Akhirnya "Tersandung" Juga

         Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia tidak  hanya memiliki sumber daya yang  berlimpah tapi  juga memiliki sederet permasalahan di berbagai bidang. Salah satu permasalahan yang hingga kini belum bisa bisa dientaskan adalah masalah korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Seiring berjalannya waktu, satu persatu kasus korupsi di Indonesia mulai terungkap. Pelakunya pun berasal dari berbagai golongan, seperti kepala daerah, anggota dewan, dan pejabat-pejabat di pemerintahan maupun perusahaan/organisasi lainnya. Mirisnya, para pelaku korupsi ini umumnya adalah mereka yang “berpendidikan” dan yang semestinya bisa dijadikan panutan masyarakat.
            Kasus yang baru-baru ini mencuat adalah tentang mantan Dirjen Pajak berinisial HP  yang diduga terlibat korupsi. Bermula ketika salah satu bank swasta terkemuka mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan sebesar 5,7 triliun kepada Direktorat PPh (Pajak Penghasilan) pada 17 Juli 2003 yang lalu. Setelah menerima surat tersebut, Direktorat PPh kemudian melakukan pengkajian selama hampir satu tahun untuk  dapat mengambil keputusan  hingga pada 13 Maret 2004 diterbitkan surat yang berisi penolakan terhadap keberatan pajak yang di ajukan. Namun, HP yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Pajak justru diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak yang diajukan oleh Bank tersebut diterima seluruhnya.
            Selain itu HP diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain ditolak sedangkan yang diajukan oleh Bank swasta terkemuka tersebut diterima, padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama. Ketua KPK mengatakan, akibat korupsi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan, kerugian Negara ditaksir mencapai 375 milyar rupiah. Nilai tesebut adalah jumlah yang semestinya dibayarkan sebagai pajak jika pengajuan keberatan ditolak sebagaimana hasil kajian Direktur PPh. Setelah KPK melakukan penyelidikan dan menemukan bukti yang mendukung, HP akhirnya resmi dijadikan tersangka pada 21 April 2014 lalu. Apa yang dilakukan oleh HP hanyalah sebagian dari contoh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pemimpin dalam suatu instansi. HP yang memiliki segudang prestasi di bidang keuangan dan perpajakan  yang notabene memegang sertifikat akuntan negara nomor D786 pun tidak luput dari godaan melakukan tindakan yang kurang semestinya.
            Hal ini menjadi indikasi bahwa yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin bukan hanya sekadar kecerdasan secara logika tapi juga etika dan akhlak yang baik. Menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”. Artinya, etika berlaku untuk setiap orang, dimanapun dan pada kondisi apapun. Manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa berhubungan dengan orang lain, sehingga apabila dalam suatu kelompok masyarakat ada yang berperilaku tidak sesuai dengan etika, maka orang tersebut dapat dikenai sanksi sosial dari orang-orang disekitarnya. Bahkan apabila pelanggaran itu dilakukan dalam skala besar yang berakibat merugikan orang lain, akan ada sanksi hukum yang siap menjerat.
            Wikileaks.org mengungkapkan HP adalah salah satu tokoh yang mendapat perhatian intelejen Amerika sejak lama,  Pemerintah AS menyebut HP sebagai tokoh terkorup dari para koruptor pajak. Sementara di kalangan pebisnis berskala internasional, ia dianggap sebagai birokrat kotor. Diungkapkan juga bahwa HP merupakan orang yang menjadi "teladan" anak buahnya dalam praktik suap-menyuap perkara pajak di instansinya. Terlepas dari benar atau tidaknya kabar yang dilansir wikileaks.org, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran etika profesi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; kebutuhan individu, tidak adanya pedoman, perilaku dan kebiasaan individu yang terakumulasi dan tak dikoreksi, lingkungan yang tidak etis, serta perilaku dari komunitas.
            Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melakukan studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak. Menggunakan terminologi korupsi Syed Husein Alatas  (lihat SH Alatas, Korupsi: Sebab, Sifat dan Fungsi, 1987), ada tiga pola korupsi pajak. Pola pertama, transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan  pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif, karena menguntungkan pegawai pajak dan personalia. Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapat uang suap, sedangkan  pegawai menghindari penempatan di daerah terpencil. Pegawai baru di Direktorat Jenderal Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktik korupsi atau tetap lurus. Menjadi jujur tidak masalah, sepanjang mereka tidak bicara.  Kalau sampai ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai  jujur bisa dimutasi ke daerah terpencil. Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak. Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan petugas pajak mengikuti kewenangan yang ada padanya. Ekstortif  merujuk pada praktik pemerasan. Pola ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan administrasi perpajakan. Sekadar contoh, untuk mengurus nomor pokok wajib pajak (NPWP) membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat. Pola ketiga, transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktik korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan, baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapat pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara itu, petugas pajak mendapat komisi atas pengurangan kewajiban tersebut. Kewenangan pemungutan pajak oleh Dirjen Pajak selaku 'fiscus' selama ini memang lebih banyak pada mekanisme kemampuan dan kejujuran wajib pajak dalam menghitung  dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Pemungut pajak hanya bertugas memantau dan mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak dari wajib pajak ('official assessment system'). Selain itu, sebagai hak dari wajib pajak apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah pajak yang harus dibayar, UU menyediakan sarana  keberatan kepada Dirjen Pajak dan banding kepada badan peradilan pajak serta Peninjauan Kembali ke MA.
            Dari hasil studi yang dilakukan ICW, pola-pola korupsi yang mungkin terjadi di sektor pajak bisa melibatkan lebih dari satu orang atau dengan kata lain dapat dilakukan “bersama-sama” hingga melibatkan satu komunitas. Tidak bisa dipungkiri selain faktor internal, lingkungan juga memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan karakter seseorang. Dibutuhkan kesadaran dari  dalam diri untuk tetap dapat berpegang teguh pada norma-norma yang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kita sebagai masyarakat , hendaknya bisa mengambil pelajaran dari para tokoh yang ‘tersandung’ ke dalam masalah yang pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri. Satu hal yang perlu kita ingat adalah; selalu ada konsekuensi dibalik setiap perbuatan yang kita lakukan.  Alangkah lebih baik jika norma dan etika senantiasa dipatuhi demi menjaga nama baik dan terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Referensi :
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2924/korupsi-pajak.kr
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/04/2142276/Bocoran.WikiLeaks.Amerika.Sebut.Hadi.Poernomo.Arogan.dan.Korup
http://nasional.inilah.com/read/detail/2093937/ini-kronologi-korupsi-ketua-bpk-hadi-purnomo#.VDvCHmeSzGI
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/04/21/modus-korupsi-pajak-bca-yang-menjerat-hadi-poernomo
http://profil.merdeka.com/indonesia/h/hadi-purnomo/