Rabu, 15 Oktober 2014

Sang Mantan Dirjen Akhirnya "Tersandung" Juga

         Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia tidak  hanya memiliki sumber daya yang  berlimpah tapi  juga memiliki sederet permasalahan di berbagai bidang. Salah satu permasalahan yang hingga kini belum bisa bisa dientaskan adalah masalah korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Seiring berjalannya waktu, satu persatu kasus korupsi di Indonesia mulai terungkap. Pelakunya pun berasal dari berbagai golongan, seperti kepala daerah, anggota dewan, dan pejabat-pejabat di pemerintahan maupun perusahaan/organisasi lainnya. Mirisnya, para pelaku korupsi ini umumnya adalah mereka yang “berpendidikan” dan yang semestinya bisa dijadikan panutan masyarakat.
            Kasus yang baru-baru ini mencuat adalah tentang mantan Dirjen Pajak berinisial HP  yang diduga terlibat korupsi. Bermula ketika salah satu bank swasta terkemuka mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan sebesar 5,7 triliun kepada Direktorat PPh (Pajak Penghasilan) pada 17 Juli 2003 yang lalu. Setelah menerima surat tersebut, Direktorat PPh kemudian melakukan pengkajian selama hampir satu tahun untuk  dapat mengambil keputusan  hingga pada 13 Maret 2004 diterbitkan surat yang berisi penolakan terhadap keberatan pajak yang di ajukan. Namun, HP yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Pajak justru diduga meminta Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak yang diajukan oleh Bank tersebut diterima seluruhnya.
            Selain itu HP diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang memiliki permasalahan sama. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain ditolak sedangkan yang diajukan oleh Bank swasta terkemuka tersebut diterima, padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama. Ketua KPK mengatakan, akibat korupsi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan, kerugian Negara ditaksir mencapai 375 milyar rupiah. Nilai tesebut adalah jumlah yang semestinya dibayarkan sebagai pajak jika pengajuan keberatan ditolak sebagaimana hasil kajian Direktur PPh. Setelah KPK melakukan penyelidikan dan menemukan bukti yang mendukung, HP akhirnya resmi dijadikan tersangka pada 21 April 2014 lalu. Apa yang dilakukan oleh HP hanyalah sebagian dari contoh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pemimpin dalam suatu instansi. HP yang memiliki segudang prestasi di bidang keuangan dan perpajakan  yang notabene memegang sertifikat akuntan negara nomor D786 pun tidak luput dari godaan melakukan tindakan yang kurang semestinya.
            Hal ini menjadi indikasi bahwa yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin bukan hanya sekadar kecerdasan secara logika tapi juga etika dan akhlak yang baik. Menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”. Artinya, etika berlaku untuk setiap orang, dimanapun dan pada kondisi apapun. Manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa berhubungan dengan orang lain, sehingga apabila dalam suatu kelompok masyarakat ada yang berperilaku tidak sesuai dengan etika, maka orang tersebut dapat dikenai sanksi sosial dari orang-orang disekitarnya. Bahkan apabila pelanggaran itu dilakukan dalam skala besar yang berakibat merugikan orang lain, akan ada sanksi hukum yang siap menjerat.
            Wikileaks.org mengungkapkan HP adalah salah satu tokoh yang mendapat perhatian intelejen Amerika sejak lama,  Pemerintah AS menyebut HP sebagai tokoh terkorup dari para koruptor pajak. Sementara di kalangan pebisnis berskala internasional, ia dianggap sebagai birokrat kotor. Diungkapkan juga bahwa HP merupakan orang yang menjadi "teladan" anak buahnya dalam praktik suap-menyuap perkara pajak di instansinya. Terlepas dari benar atau tidaknya kabar yang dilansir wikileaks.org, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran etika profesi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; kebutuhan individu, tidak adanya pedoman, perilaku dan kebiasaan individu yang terakumulasi dan tak dikoreksi, lingkungan yang tidak etis, serta perilaku dari komunitas.
            Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah melakukan studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak. Menggunakan terminologi korupsi Syed Husein Alatas  (lihat SH Alatas, Korupsi: Sebab, Sifat dan Fungsi, 1987), ada tiga pola korupsi pajak. Pola pertama, transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan  pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif, karena menguntungkan pegawai pajak dan personalia. Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapat uang suap, sedangkan  pegawai menghindari penempatan di daerah terpencil. Pegawai baru di Direktorat Jenderal Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktik korupsi atau tetap lurus. Menjadi jujur tidak masalah, sepanjang mereka tidak bicara.  Kalau sampai ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai  jujur bisa dimutasi ke daerah terpencil. Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak. Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan petugas pajak mengikuti kewenangan yang ada padanya. Ekstortif  merujuk pada praktik pemerasan. Pola ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan administrasi perpajakan. Sekadar contoh, untuk mengurus nomor pokok wajib pajak (NPWP) membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat. Pola ketiga, transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktik korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan, baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapat pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara itu, petugas pajak mendapat komisi atas pengurangan kewajiban tersebut. Kewenangan pemungutan pajak oleh Dirjen Pajak selaku 'fiscus' selama ini memang lebih banyak pada mekanisme kemampuan dan kejujuran wajib pajak dalam menghitung  dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Pemungut pajak hanya bertugas memantau dan mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak dari wajib pajak ('official assessment system'). Selain itu, sebagai hak dari wajib pajak apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah pajak yang harus dibayar, UU menyediakan sarana  keberatan kepada Dirjen Pajak dan banding kepada badan peradilan pajak serta Peninjauan Kembali ke MA.
            Dari hasil studi yang dilakukan ICW, pola-pola korupsi yang mungkin terjadi di sektor pajak bisa melibatkan lebih dari satu orang atau dengan kata lain dapat dilakukan “bersama-sama” hingga melibatkan satu komunitas. Tidak bisa dipungkiri selain faktor internal, lingkungan juga memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan karakter seseorang. Dibutuhkan kesadaran dari  dalam diri untuk tetap dapat berpegang teguh pada norma-norma yang sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kita sebagai masyarakat , hendaknya bisa mengambil pelajaran dari para tokoh yang ‘tersandung’ ke dalam masalah yang pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri. Satu hal yang perlu kita ingat adalah; selalu ada konsekuensi dibalik setiap perbuatan yang kita lakukan.  Alangkah lebih baik jika norma dan etika senantiasa dipatuhi demi menjaga nama baik dan terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Referensi :
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2924/korupsi-pajak.kr
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/04/2142276/Bocoran.WikiLeaks.Amerika.Sebut.Hadi.Poernomo.Arogan.dan.Korup
http://nasional.inilah.com/read/detail/2093937/ini-kronologi-korupsi-ketua-bpk-hadi-purnomo#.VDvCHmeSzGI
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/04/21/modus-korupsi-pajak-bca-yang-menjerat-hadi-poernomo
http://profil.merdeka.com/indonesia/h/hadi-purnomo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar