Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia tidak hanya memiliki sumber daya yang berlimpah tapi juga memiliki sederet permasalahan di
berbagai bidang. Salah satu permasalahan yang hingga kini belum bisa bisa
dientaskan adalah masalah korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia korupsi
diartikan sebagai penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain. Seiring berjalannya waktu, satu persatu kasus korupsi di Indonesia
mulai terungkap. Pelakunya pun berasal dari berbagai golongan, seperti kepala
daerah, anggota dewan, dan pejabat-pejabat di pemerintahan maupun perusahaan/organisasi
lainnya. Mirisnya, para pelaku korupsi ini umumnya adalah mereka yang
“berpendidikan” dan yang semestinya bisa dijadikan panutan masyarakat.
Kasus yang
baru-baru ini mencuat adalah tentang mantan Dirjen Pajak berinisial HP yang diduga terlibat korupsi. Bermula ketika
salah satu bank swasta terkemuka mengajukan keberatan pajak atas transaksi non performance loan sebesar 5,7 triliun
kepada Direktorat PPh (Pajak Penghasilan) pada 17 Juli 2003 yang lalu. Setelah
menerima surat tersebut, Direktorat PPh kemudian melakukan pengkajian selama
hampir satu tahun untuk dapat mengambil
keputusan hingga pada 13 Maret 2004
diterbitkan surat yang berisi penolakan terhadap keberatan pajak yang di ajukan.
Namun, HP yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Pajak justru diduga meminta
Direktur PPh untuk mengubah kesimpulannya sehingga keberatan pembayaran pajak
yang diajukan oleh Bank tersebut diterima seluruhnya.
Selain itu HP
diduga mengabaikan adanya fakta materi keberatan yang diajukan bank lain yang
memiliki permasalahan sama. Pengajuan keberatan pajak yang diajukan bank lain
ditolak sedangkan yang diajukan oleh Bank swasta terkemuka tersebut diterima,
padahal kedua bank itu memiliki permasalahan yang sama. Ketua KPK mengatakan,
akibat korupsi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan, kerugian Negara ditaksir
mencapai 375 milyar rupiah. Nilai tesebut adalah jumlah yang semestinya dibayarkan
sebagai pajak jika pengajuan keberatan ditolak sebagaimana hasil kajian
Direktur PPh. Setelah KPK melakukan penyelidikan dan menemukan bukti yang
mendukung, HP akhirnya resmi dijadikan tersangka pada 21 April 2014 lalu. Apa
yang dilakukan oleh HP hanyalah sebagian dari contoh penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh pemimpin dalam suatu instansi. HP yang memiliki segudang
prestasi di bidang keuangan dan perpajakan
yang notabene memegang sertifikat akuntan negara nomor D786 pun tidak
luput dari godaan melakukan tindakan yang kurang semestinya.
Hal ini menjadi
indikasi bahwa yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin bukan hanya sekadar
kecerdasan secara logika tapi juga etika dan akhlak yang baik. Menurut Maryani
& Ludigdo (2001) “Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman
yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus
ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau
profesi”. Artinya, etika berlaku untuk setiap orang, dimanapun dan pada kondisi
apapun. Manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa berhubungan dengan orang
lain, sehingga apabila dalam suatu kelompok masyarakat ada yang berperilaku
tidak sesuai dengan etika, maka orang tersebut dapat dikenai sanksi sosial dari
orang-orang disekitarnya. Bahkan apabila pelanggaran itu dilakukan dalam skala
besar yang berakibat merugikan orang lain, akan ada sanksi hukum yang siap
menjerat.
Wikileaks.org mengungkapkan
HP adalah salah satu tokoh yang mendapat perhatian intelejen Amerika sejak
lama, Pemerintah AS menyebut HP sebagai
tokoh terkorup dari para koruptor pajak. Sementara di kalangan pebisnis
berskala internasional, ia dianggap sebagai birokrat kotor. Diungkapkan juga
bahwa HP merupakan orang yang menjadi "teladan" anak buahnya dalam
praktik suap-menyuap perkara pajak di instansinya. Terlepas dari benar atau
tidaknya kabar yang dilansir wikileaks.org, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran
etika profesi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; kebutuhan individu,
tidak adanya pedoman, perilaku dan kebiasaan individu yang terakumulasi dan tak
dikoreksi, lingkungan yang tidak etis, serta perilaku dari komunitas.
Indonesia Corruption Watch (ICW)
pernah melakukan studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak.
Menggunakan terminologi korupsi Syed Husein Alatas (lihat SH Alatas,
Korupsi: Sebab, Sifat dan Fungsi, 1987), ada tiga pola korupsi pajak. Pola pertama,
transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan pegawai
pajak. Disebut korupsi transaktif, karena menguntungkan pegawai pajak dan
personalia. Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapat uang suap, sedangkan
pegawai menghindari penempatan di daerah terpencil. Pegawai baru di Direktorat
Jenderal Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan
dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktik korupsi atau tetap lurus.
Menjadi jujur tidak masalah, sepanjang mereka tidak bicara. Kalau sampai
ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai jujur bisa dimutasi ke
daerah terpencil. Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak.
Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan petugas pajak mengikuti
kewenangan yang ada padanya. Ekstortif merujuk pada praktik pemerasan. Pola
ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan
administrasi perpajakan. Sekadar contoh, untuk mengurus nomor pokok wajib pajak
(NPWP) membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada
petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat. Pola ketiga, transaktif-autogenik
dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktik korupsi di
pajak berjalan saling menguntungkan, baik bagi wajib pajak maupun petugas
pajak. Wajib pajak bisa mendapat pengurangan dari kewajiban yang seharusnya.
Sementara itu, petugas pajak mendapat komisi atas pengurangan kewajiban
tersebut. Kewenangan pemungutan pajak oleh Dirjen Pajak selaku 'fiscus' selama
ini memang lebih banyak pada mekanisme kemampuan dan kejujuran wajib pajak
dalam menghitung dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Pemungut
pajak hanya bertugas memantau dan mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak dari
wajib pajak ('official assessment system'). Selain itu, sebagai hak dari wajib
pajak apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah pajak yang harus
dibayar, UU menyediakan sarana keberatan kepada Dirjen Pajak dan banding
kepada badan peradilan pajak serta Peninjauan Kembali ke MA.
Dari hasil studi
yang dilakukan ICW, pola-pola korupsi yang mungkin terjadi di sektor pajak bisa
melibatkan lebih dari satu orang atau dengan kata lain dapat dilakukan “bersama-sama”
hingga melibatkan satu komunitas. Tidak bisa dipungkiri selain faktor internal,
lingkungan juga memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan karakter
seseorang. Dibutuhkan kesadaran dari
dalam diri untuk tetap dapat berpegang teguh pada norma-norma yang
sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kita sebagai masyarakat , hendaknya bisa
mengambil pelajaran dari para tokoh yang ‘tersandung’ ke dalam masalah yang
pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri. Satu hal yang perlu kita ingat
adalah; selalu ada konsekuensi dibalik setiap perbuatan yang kita lakukan. Alangkah lebih baik jika norma dan etika senantiasa
dipatuhi demi menjaga nama baik dan terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
Referensi :
http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2924/korupsi-pajak.kr
http://nasional.kompas.com/read/2014/05/04/2142276/Bocoran.WikiLeaks.Amerika.Sebut.Hadi.Poernomo.Arogan.dan.Korup
http://nasional.inilah.com/read/detail/2093937/ini-kronologi-korupsi-ketua-bpk-hadi-purnomo#.VDvCHmeSzGI
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/04/21/modus-korupsi-pajak-bca-yang-menjerat-hadi-poernomo
http://profil.merdeka.com/indonesia/h/hadi-purnomo/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar